Skip to main content

MEMBACA NALAR STUDI AGAMA SAKRAL DAN PROFAN KARYA MERCIA ELIADE



Buku “Sakral Dan Profan” adalah sebuah dokumen yang sangat mendasar tentang pemahaman manusia tentang agama dan bagaimana ia menguji kualitas hidupnya. Mircea Eliade (1907-1986) tidak membuang-buang waktu dengan berupaya menjelaskan atau mendefinisikan pengalaman yang sakral dalam kerangka disiplin-disiplin yang lain. Misalnya, yang sakral sebagai sebuah pengalaman psikologis (Campbell) atau yang sakral sebagai sebuah fenomena sosiologis (Burkert). Sebaliknya, ia menganalisa yang sakral sebagai yang sakral. Eliade menunjukkan bagaimana ruang dan waktu yang sakral adalah sungguh-sungguh ruang dan waktu yang riil, nyata, permanen dan abadi; kebalikan dengan ruang dan waktu yang labil, selalu berubah-ubah dari dunia profan. Kalangan homo religiusus (orang-orang tradisional) menghidupkan kembali kebaikan-kebaikkan primordial dari dewa-dewa dan ritus-ritusnya, tentu saja tidak seperti manusia modern, dalam semua tingkah lakunya, karena tindakan-tindakan primordial itulah yang sesungguhnya nyata. Dengan demikian, merambahnya fenomena sakral ke dalam ruang profan menciptakan ruang yang sakral, ruang yang tercipta, yang abadi, yang nyata.
Dalam buku fenomenal “Sakral Dan Profan” ini, Eliade mendeskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari pengalaman: tradisional dan modern. Manusia tradisional atau “homo religius” selalu terbuka untuk memandang dunia sebagai pengalaman yang sakral. Sedangkan manusia modern tertutup bagi pengalaman-pengalaman semacam ini. “manusia …hanya dapat membangun dirinya secara utuh ketika ia mendesakralisasikan dirinya dan dunia”.[1] Baginya, dunia hanya dialami sebagai yang profan. Yang menjadi Blue Print buku ini kemudia adalah menunjukan apakah pengalaman-pengalaman yang berlawanan secara mendasar ini pada setiap tahapannya memang konsisten. Manusia tradisional seringkali mengekspresikan pertentang ini seabagai nyata versus tidak nyata atau pseudoreal dan ia berusaha sebisa mungkin untuk hidup dalam yang sakral, agar sepenuhnya dapat menghempaskan dan menyempurnakan dirinya dalam realitas. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Manifestasi dari yang sakral ini disebut Eliade sebagai “hierofani”.[2] Bagi Eliade, ini adalah konsep fundamental dalam mengkaji yang sakral dan berkali-kali buku ini selalu merujuk kepada konsep ini.
Eliade memperkenalkan konsep hierofani, sebuah konsep di mana yang sakral memanifestasikan dirinya pada diri manusia, pengalaman dari orde realitas lain yang merasuki pengalaman manusia. Ia memaparkan ide tentang ruang yang sakral, yang mengambarkan bagaimana satu-satunya ruang yang “nyata” adalah ruang sakral, yang dikelilingi oleh satu medan tanpa bentuk. Ruang sakral menjadi kiblat bagi ruang yang lainnya. Ia mendapatkan bahwa manusia mendiami sebuah dunia tengah (midland), antara dunia-luar yang kacau dan dunia-dalam yang sakral, yang diperbaharui lagi oleh praktik dan ritual sakral. Dengan mentahbiskan satu tempat dalam dunia profan, kosmologi direkapitulasi dan yang sakral menjadi mungkin diakses. Ini menjadi sentra dari dunia primitif. Ritual mengambil tempat dalam ruang sakral ini, dan menjadi satu-satunya cara partisipasi dalam kosmos yang sakral ketika berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dunia profan.
Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika “waktu profan” adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala segalanya nampak lebih “nyata” daripada keadaannya sekarang. Lagi-lagi ritual memainkan peran penting. Waktu digerakkan kembali dengan menjadikannya baru kembali sementara ritual-ritual mengikat kembali para penganut kepada keaslian kosmos yang sakral. Maka, siklus satu tahun menjadi paradigma bagi pembaharuan kembali masyarakat dan dunia genesis yang sakral.
Ia lalu menganalisa bagaimana sejumlah unsur alam secara khusus bermain di dalam pengalaman yang sakral. Ia melihat air, pohon sakral, rumah dan tubuh. Ia mencatat bahwa “tidak ada tubuh manusia modern, seateis apapun, yang sepenuhnya tidak merasakan daya tarik alam”.[3] Simbolisme kosmik menambahkan satu nilai baru kepada objek atau tindakan tanpa mengeser nilai-nilai yang inheren. Manusia religius mendapatkan dalam dirinya kesucian yang sama dengan yang ia temukan dalam kosmos. “keterbuikaan terhadap dunia memungkinkan manusia religius untuk mengenal dirinya dalam pengenalannya akan dunia – dan pengetahuan ini berharga baginya karena inilah cara beragama, karena hal ini berkaitan dengan being”.
Di bagian terakhir buku “Sakral Dan Profan” ini, Eliade memaparkan perbedaan antara homo religiosus dan manusia profan. Manusia non-religius mendapatkan bahwa segala sesuatu telah didesakralisasi. Ini akan merusak sekaligus juga memiskinkan karena semua tindakan dan kejadian telah tercerabut dari signifikansi spritualnya. Ia menunjukkan kehilangan yang besar dalam kristen:
“kepekaan religius dari penduduk kota sangatlah dangkal dan miskin. Liturgi kosmik, disertakannya misteri alam dalam darama kristologis, tidak dapat diakses lagi pada kehidupan orang kristen di kota modern. Pengalaman religius mereka tidak lagi terbuka bagi kosmos. Dalam analisa terakhir, ia adalah pengalaman yang sangat privat; keselamatan adalah sebuah persoalan yang menguras perhatian manusia untuk mengurusi tuhannya; kebanyakan manusia mengakui bahwa ia bukan hanya bertanggung jawab kepada tuhan. Namun hubungan manusia-tuhan-sejarah ini tidak meluangkan tempat sama sekali bagi kosmos. Dari sini akan kelihatan bahwa, bahkan bagi seorang kristen tulen, dunia tidak lagi dipahami sebagai karya tuhan”.[4]
Fenomena pengalaman religius tersebut tidak menyisakan perdebatan apapun. Eliade menganalisa bahwa karakteristik dari fenomenologi ini bertentangan dengan yang telah dialami manusia selama puluhan ribu tahun dengan agama modern; agama yang telah dilucuti, dirasionalisasi. Jelas sekali, buku ‘Sakral Dan Profan’ menunjukan apa yang hilang dari agama-agama “modern”. Harga yang telah mereka bayar untuk menjadi modern mencabut mereka dari fenomena mendasar yang senantiasa memperkuat pengalaman spritual di masa lalu. Dan lokus utama dari buku Sakral Dan Profan adalah “menunjukan dalam hal mana manusia religius berusaha untuk bertahan sebisa dan selama mungkin dalam sebuah semesta yang sakral, dan oleh karena itu keseluruhan pengalaman hidupnya disajikan sebagai perbandingan dengan pengalaman dari orang yang tidak memiliki kepekaan religius, orang yang hidup –atau akan hidup – dalam sebuah dunia yang terdesakralisasikan”.
Tinjuan terhadap buku pengantar klasik dalam studi agama ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena sangat terbatasnya isi kepala tentang subjek ini. Terlepas dari pada hal itu, yang ingin diuji adalah bagaimana hubungan Eliade dengan telaahnya terhadap kategori pengalaman religius. Pembahasan Eliade mengenai pengalaman relius menampakkan keterkaitan yang menarik dengan perdebatan-perdebatan perenialisme / kontektualisme. Akan nampak dalam kaitannya dengan persoalan sifat pengalaman religius bahwa Eliade, selemah apapun, adalah seorang perenialis. Lebih dari sekedar menganggap bahwa semua pengalaman religius atau mistis bertemu dengan realitas yang sama (perenialisme), Eliade mengatakan bahwa pengalaman yang sakral adalah bagian alami dari pengalaman manusia (apa yang akan saya sebut perenialisme lemah). Simak saja kutipan ungkapan Eliade berikut ini:”adalah berbeda pengalaman religius yang dijelaskan melalui perbedaan-perbedaan dalam bidang ekonomi, budaya dan organisasi sosial – atau singkatnya oleh sejarah. Kendati demikian, antara para pemburu yang nomaden dan petani yang menetap, ada kesamaan perilaku yang bagi kita nampak sangat penting daripada perbedaan-perbedaannya: keduanya hidup dalam sebuah kosmos yang sakral, keduanya sama-sama berada dalam sakralitas kosmis yang manifestasinya sama seperti dalam dunia binatang dan dunia tumbuh-tumbuhan”.
Eliade melihat karyanya sebagai penerus dari proyek yang dimulai oleh Rudolft Otto dalam Das Heilige.[5] Eliade berusaha mengeksplorasi kekuatan eksplanatif dalam analisa Otto mengenai pengalaman religius. Eliade memfokuskan diri untuk menunjukkan bahwa ide pengalaman religius – sangat membantu membangkitkan rasa hormat sekaligus rasa takut ketika berjumpa dengan entitas sakral yang sama sekali asing dari dunia kehidupan lahir – adalah eksplorasinya terhadap signifikansinya religius dari objek natural, proses kehidupan, ruang sakral (tempat-tempat suci agama), dan waktu sakral (ritual keagamaan). Keistimewaan dari pendekatan Eliade adalah pengintegrasiannya atas pengalaman religius “biasa” dan pengalaman yang “luar biasa” atau abnormal ke dalam satu pandangan yang menyeluruh tentang pengalaman religius.
Teori Eliade adalah reduksionis (seperti semua teori yang berkaitan dengan fenomenanya). Ia berusaha menunjukkan bagaimana sejumlah pengalaman atau aktivitas religius menyimbolkan perjumpaan manusia dengan hal yang sama sekali lain (yaitu yang sakral). Mungkin inilah perbedaan antara kontektualis dan prenialis dalam kaitanya dengan pengalaman religius. Perbedaan utama antara Eliade dan beberapa kalangan kontektualis yang bermunculan setelahnya adalah bahwa Eliade jelas-jelas mempercayai perjumpaan dengan yang sakral sebagai sebuah aspek yang normal dan beraturan (kendati itu pun natural) dalam kehidupan manusia. Kalangan kontektualis tidak terlalu menolak padangan ini sepertri ketika mereka abstain menyikapi kecenderungan yang mengeneralisasi watak dan perilaku manusia. Dengan mengingat hal itu, ia memungkasi bukunya dengan beberapa refleksi atas mengejalanya pengalaman-pengalaman pseudoreligius di kalangan nonreligius (sehingga menunjukkan kekuatan penjelas yang signifikan dengan teorinya). Dalam bukunya ini, Eliade mengadopsi bentuk perenialisme lemah untuk mengembangkan teorinya tentang pengalaman. Setuju atau tidak, orang patut memuji betapa cemerlang teori yang dikemukakannya.
Sakral Dan Profan terbagi ke dalam empat judul yang terkait dengan ruang (space), waktu (time), alam (nature) dan manusia (man). Ditambahkan pula pada bagian akhir yang terpisah dari tema buku “Survey Kronologis dari Sejarah Agama Sebagai Cabang Ilmu”. Pada bagian pertama, Eliade mengeksplorasi “keragaman ruang pengalaman religius”. Dalam pengalamanya, manusia modern cenderung merasa bahwa semua ruang adalah sama. Ia telah mematematisasi ruang, menyeragamkannya dengan mereduksi setiap ruang pada kesepadanan dari begitu banyak unit ukuran. Apa yang menjadi perbedaan antara tempat-tempat yang ada di sana, biasanya hanya karena pengalaman yang diasosiasikan individu dengan sebuah tempat bukanlah tempat itu sendiri, misalnya tempat kelahiran saya, tempat yang saya sukai, dan sebagainya. Namun manusia religius tidak memiliki satu ruang dalam pemahaman ini. Menurutnya, beberapa ruang berbeda secara kualitatif. Ruang yang sakral, tentu saja lebih kokoh dan bermakna. Ruang lainya adalah profan, kacau dan tanpa makna. Manusia tradisional tidak mampu hidup dalam dunia profan, karena ia tidak mengoreintasikan dirinya. Untuk mencapai orientasi ia pertama kali harus memiliki satu sentral. Sentral tersebut tidak datang dengan putusan yang spekulatif atau arbriter namun ia adalah given. Wahyu dari yang sakral, hirofani membentuk sentral dan sentral membentuk dunia karena setiap ruang yang lain menderivasikan maknanya yang sentral.
Bab dua berkaitan dengan waktu sakral. Di sini, Eliade secara singkat mengupas materi yang ia banyak cakupkan dalam “The Myth of the Eternal Return”. Seperti pengalaman ruangnya, manusia religius memahami pengalaman waktu sebagai sakral sekaligus profan. Waktu yang sakral, waktu perayaan, adalah kembali pada waktu mistis yang mengawali permulaan segala sesuatu, inilah yang oleh Eliade disebut sebagai “in illo tempore”. Manusia religius mengharapkan untuk selalu hidup dalam waktu yang kokoh ini. Ini adalah kehendak untuk “kembali pada kehadiran dewa-dewa, untuk memulihkan kekuatan, kesegaran dunia sejati yang eksis “in illo tempore”. Menurut Eliade, waktu sakral atau waktu perayaan tidak mungkin didapatkan oleh manusia modern, karena manusia modern melihat waktu profan adalah keseluruhan hidupnya dan ketika ia meninggal hidupnya juga binasa.
Bab tiga bertajuk “Sakralitas Alam Dan Agama Kosmik”. Di sini Eliade menjelaskan bahwa bagi manusia religius alam, tidak semata-mata “alami” namun selalu mengungkapkan sesuatu di luar dirinya. Baginya, dunia adalah simbolis atau transparen; dunia dewa-dewa bersinar-terang melalui dunianya. Alam raya dilihat sebagai sebuah semesta yang tertata yang memanifestasikan modalitas yang berlainan dari being dan dari yang sakral. Eliade lalu mengeksplorasikan beberapa simbol khusus menjadi simbol-simbol kunci dari yang sakral: langit, air, tanah, tumbuhan, dan bulan. Dalam kategori-kategori ini, Eliade memberikan perhatian khusus pada baptisme Kristen dan Pohon Kehidupan. Kesimpulannya, watak khas modernitas adalah desakralisasi alam.
Bab empat dan terakhir mencakup penyucian kehidupan manusia. Penyucian memungkinkan manusia religius untuk hidup dalam eksistensi yang terbuka. Ini berarti manusia tradisional mengarungi kehidupannya dalam dua dunia. Ia hidup dalam kesehariannya, namun ia juga berbagi hidup di luar dunia hidupnya sehari-hari, kehidupan kosmos atau dewa-dewa. “Dunia yang ganda” dari kehidupan manusia dan kosmis ini secara tepat terekspresikan dalam pengalaman manusia tradisinal sendiri dan tempat tinggal mereka sebagai mikrokosmos atau semesta kecil. Sebagaian besar dari bab ini berkaitan dengan triple “tubuh-rumah-kosmos” dan dengan makna inisiasi. Inisiasi adalah cara manusia tradisional menyucikan hidupnya. Ia mengandung pandangan keagamaan yang junik tentang dunia, karena manusia tradisional melihat dirinya belum lengkap atau belum sempurna. Maka kelahiran alaminya harus disempurnakan dengan serangkaian kelahiran kedua atau kelahiran spritual. Hal ini disempurnakan dengan “ritus-ritus perjalanan” yaitu inisiasi. Inisiasi adalah semacam kelahiran, namun ia selalu disertai dengan kematian menuju ruang-waktu setelahnya.
Keleban dari Sakral Dan Profan adalah ada pada kombinasinya atas keringkasan dan kedalaman wawasan yang menakjubkan. Eliade menulis secara sederhana dan jelas (walaupun dengan berbagai peristilahan tehnis yang cukup rumit) tentang persoalan-persoalan yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Inilah karya akademis yang sangat cemerlang. Sebelum Houston Smith, Eliade-lah agaknya sang penulis sesungguhnya tentang agama. Tulisan-tulisannya sangat dalam dan indah, mengeksplorasi apa yang profan dan apa yang sakral khususnya melalui evolusi mitos dan agama awal. Buku Sakaral Dan Profan merupakan buku yang sangat hebat. Ia memaparkan unsur-unsur dasar pengalaman religius, dan memunkinkan pembaca untuk mencatat manakah yang hilang dari pengalaman itu yang bisa dirasakan dalam masyarakat modern dan kehidupanya sendiri.

[1] Mircea Eliade. Sakral Dan Profan. Nuwanto (Terj.). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. 2002. Hal: 213
[2] Ibid. Hal: 14
[3] Ibid. Hal: 157
[4] Ibid. Hal: 181
[5] Ibid. Hal: 8
Iklan

Comments

Popular posts from this blog

Allan P. Merriam, The Anthropology Of Music Capter XI, “Use and Functions”

(Allan P. Merriam) Gambar diunduh dari https://en.wikipedia.org/wiki/Alan_P._Merriam A.Merriam, The Anthropology Of Music Capter XI, “Use and Functions”                 Kegunaan (use) dan fungsi (function) music merupakan masalah yang sangat penting dalam etnomusikologi, karena hal ini menyangkut makna musik, tidak hanya fakta-fakta mengenai music. Tentu saja, dalam etnomusikologi kita selalu berusaha untuk mengumpulkan fakta mengenai musik. Tetapi lebih dari itu, kita ingin mengetahui pula efek / dampak music terhadap manusia, dan kita ingin mengerti bagaimana efek tersebut digasilkan.                 Menurut Merriam, para etnomusikologi sering-sering memakai istilah ‘kegunaan’ dan ‘fungsi’ secara rancu, bahkan para antropolog kadangkala berbuat demikian. Namun, kedua gagasan tersebut harus dibedakan satu sama lainnya.                 Para etnomusikolog memperhatikan dan mencatat kegunaan-kegunaan musik untuk memperkaya pengetahuan mereka mengenai fakta-fa

Critical Communities and Aesthetic Practices (Francis_Halsall,_Julia_Jansen,_Sinéad_Murphy)

Chapter 1 Introduction : Critical Communities and Aesthetic Practices Francis Halsall , Julia Jansen , and Sinéad Murphy At the 2007 Venice Biennale, Sophie Calle fi lled the French Pavillon with responses, by more than 100 women, to a personal letter that had originally been addressed to her; an email, to be precise, with which a boyfriend informed her that he would leave her. ‘Take care of yourself,’ the email ends. This phrase became the title for the piece in which each participating woman responded to the email in her individual way and according to her profession. ‘Take Care of Yourself’ raises important questions and it challenges the expectations that are commonly brought to artworks. It also throws and interesting light on this book. Why would an artist make her own personal life public? Is it legitimate to turn the personal into art and to make art personal? Precisely four decades after Roland Barthes pronounced the death of the author, 1 can we allow Calle to be